Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah
Kasih Sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap Hamba
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan diwajibkan
bagi orang yang mampu. Ibadah ini dikaitkan dengan kemampuan karena haji
merupakan sebuah perjalanan ibadah yang butuh pengorbanan besar berupa
kemampuan materi dan kekuatan fisik. Bila sebuah ibadah dikaitkan
langsung dengan kemampuan, berarti menunjukkan kesempurnaan hikmah Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam meletakkan ibadah tersebut. Orang yang
beriman akan menerima ketentuan ibadah tersebut tanpa berat hati. Karena
mereka mengetahui bahwa tidak ada satupun bentuk syariat yang
diletakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan maslahatnya kembali
bagi hamba.
Tidak terkait sedikitpun dengan
kebutuhan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka. Di sisi lain,
dikaitkannya ibadah haji ini dengan kemampuan hamba menunjukkan kasih
sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tinggi terhadap mereka. Semuanya
ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan di dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.” (Al-Ma`idah: 6)
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menginginkan kemudahan buat kalian dan tidak menginginkan kesulitan.” (Al-Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Allah tidak menjadikan atas kalian dalam agama ini kesukaran.” (Al-Hajj: 78)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
خَطَبَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ
رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا
ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ
قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي
مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ
سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ
شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan
kami, beliau berkata: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah
mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata:
“Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang
tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib
bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata:
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang
sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak
diperlukan dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan
sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian.
Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.”1
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ
يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ
وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah dan tidak ada seorangpun yang
memberatkan diri padanya melainkan dia tidak akan sanggup. Berusahalah
untuk tepat, mendekatlah, dan bergembiralah. Dan gunakanwaktu pagi dan
petang serta sebagian dari waktu malam.”2
Ibnul Munayyir berkata: “Di dalam hadits ini terdapat salah satu tanda
kenabian. Dan kita telah menyaksikan, juga telah disaksikan pula oleh
orang-orang sebelum kita, bahwa setiap orang yang berdalam-dalam
menyelami agama akan tidak sanggup. Dan bukan berarti tidak boleh
mencari yang lebih sempurna dalam ibadah, karena ini termasuk perkara
yang terpuji. Yang dilarang adalah berlebih-lebihan yang akan
menyebabkan kebosanan, atau berlebih-lebihan dalam menjalankan amalan
sunnah sehingga meninggalkan yang lebih utama, atau mengeluarkan
kewajiban dari waktunya, seperti seseorang yang semalam suntuk untuk
qiyamul lail sehingga dia terlalaikan dari Shalat Subuh secara berjamaah
atau sampai keluar dari waktu yang dipilih atau sampai terbit matahari
yang akhirnya keluar dari waktu yang diwajibkan.” (Lihat Fathul Bari,
1/118)
Sikap Terpuji Orang yang Beriman
Orang berimanlah yang paling bergembira dengan semua bentuk ibadah
yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Merekalah yang memiliki
kesiapan untuk menjalankannya. Mereka juga memiliki keberanian untuk
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tetap tegar dan bersemangat, sekalipun
anjuran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya itu dianggap kecil dan
sepele oleh kebanyakan orang. Sikap inilah yang telah digambarkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
إِنَّمَا كَانَ
قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُوْلُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman bila mereka diseru
kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi di antara mereka, mereka
mengatakan: ‘Kami mendengar dan kami taat’.” (An-Nur: 51)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka.” (Al-Ahzab: 36)
فَلاَ وَرَبِّكَ
لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيْمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka
menjadikanmu sebagai hakim dalam apa yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak mendapatkan rasa berat pada diri-diri mereka (untuk
menerima) apa yang kamu putuskan dan mereka menerima dengan
sebenar-benarnya.” (An-Nisa`: 65)
Bingkisan Berharga bagi para Hujjaj (Jamaah Haji)
Salah satu perintah syariat adalah menunaikan ibadah haji. Pelaksanaan
ibadah ini memiliki amalan-amalan yang berbeda dengan ibadah-ibadah
lainnya. Amalan yang sangat membutuhkan keikhlasan niat yang tinggi,
kejujuran iman, ketabahan jiwa dan ketundukan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang sempurna, kekuatan material dan spiritual. Hal ini terbukti
dari awal perintah memakai pakaian ihram sampai akhir pelaksanaan ibadah
tersebut.
Ada beberapa bingkisan berharga untuk saudaraku yang hendak menunaikan ibadah haji.
Pertama, Memperbaiki niat dan menjaga keikhlasan dalam pelaksanaan ibadah haji.
Keikhlasan adalah sebuah amalan hati yang sangat erat hubungannya
dengan kemurniaan aqidah dan tauhid seseorang. Ketauhidan yang benar
akan membuahkan keikhlasan yang murni dan hakiki. Keikhlasan yang murni
merupakan perwujudan ketulusan persaksian hamba terhadap kalimat Laa
ilaha illallah, tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Seseorang harus membangun semua ibadahnya di atas aqidah yang benar.
Karena aqidah yang benar merupakan penentu diterimanya amalan seseorang.
Berdasarkan hal inilah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan aqidah dan
tauhid sebagai rukun Islam pertama melalui lisan Rasul-Nya. Dalam
hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
بُنِيَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ
وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam itu dibangun di atas lima dasar yaitu mempersaksikan bahwa
tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa pada
bulan Ramadhan.”3
Jibril berkata dalam hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu:
يَا مُحَمَّدُ،
أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُوْمَ
رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
“Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam!” Beliau
menjawab: “Engkau mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar
melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa dan haji ke Baitullah bila engkau mampu
menempuh perjalanan ke sana.”4
Bila aqidah seseorang menyelisihi aqidah yang diajarkan oleh Al-Qur`an
dan As-Sunnah, tentu akan merusak niatnya. Atau niatnya akan tercampuri
dengan niatan yang lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan, dia
berangkat menunaikan ibadah haji dibarengi dengan niat-niat yang
mengandung kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti niat
meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di makam beliau,
atau di sisi kuburan-kuburan yang menurut penilaian banyak pihak bahwa
tempat tersebut berbarakah dan keramat. Atau berniat meminta keberkahan
hidup, kekayaan, naik pangkat, laris dalam berniaga, lulus dalam ujian,
meminta harta benda, dan segala yang berbau keuntungan duniawi, kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Membangun ibadah haji di atas kemurnian aqidah akan berbuah nilai
positif di dunia setelah melakukan ibadah tersebut, dan di akhirat
karena mendapatkan haji mabrur yang diterima. Berbeda dengan orang yang
membangun ibadah hajinya di atas kerusakan aqidah, seperti:
a. Aqidah Sufiyyah yang pada ujungnya adalah kufur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ucapan seorang pentolan Sufiyyah, Ibnu
‘Arabi:
Ar-Rabb adalah hamba dan hamba adalah Rabb
Aduhai kalau demikian siapa yang akan melaksanakan beban (syariat)
Dalam kesempatan lain dia mengucapkan:
Tiadalah anjing dan babi melainkan tuhan kita
b. Aqidah Syi’ah dengan berbagai sempalannya yang mengaku memuliakan
ahlu bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka jauh
dari hal itu dan justru mencaci maki para shahabat beliau.
c. Aqidah Jahmiyyah yang mengingkari nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
d. Aqidah Mu’tazilah yang menuhankan akal dan mengingkari sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
e. Aqidah Asy’ariyyah yang menafikan sebahagian sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
dan berbagai bentuk aqidah rusak lainnya.
Niat merupakan asas pertama dan utama diterimanya amal. Sehingga bila
niat telah rusak maka akan merusak yang lain. Yang paling berbahaya
sebagai perusak niat adalah riya` dan sum’ah, yaitu memperdengarkan
amalan-amalan atau perjalanan yang penuh kenangan dan peristiwa aneh
dengan tujuan mendapatkan pujian. Betapa banyak orang yang tidak
mendapatkan haji yang mabrur karena memiliki niat yang rusak. Misalnya
ingin menjadi orang terhormat karena bergelar haji di depan namanya,
disanjung, dipuji, disebut pak haji, dan sebagainya.
Kewajiban mengikhlaskan niat ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka beribadah
kepada Allah dengan mengikhlaskan baginya agama.” (Al-Bayyinah: 5)
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ
وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ
امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amalan itu sah dengan niat. Dan setiap orang akan
mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang hijrah untuk dunia yang ingin diperoleh atau wanita
yang ingin dinikahinya maka dia telah berhijrah kepada apa yang dia
telah niatkan.”5
Setiap amalan tergantung niatnya. Dan niat tersebut kembali kepada
keikhlasan, yaitu niat yang satu untuk Dzat yang satu, yaitu Allah
Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Bari, 1/14)
Hadits di atas menjelaskan tentang kedudukan niat sebagai landasan
diterimanya amal seseorang. Oleh karena itu, banyak komentar para ulama
tentang kedudukan hadits niat ini. Contohnya Al-Imam Asy-Syafi’i
mengatakan: “Hadits ini masuk dalam 70 bab dalam bidang ilmu.”
Abu Abdillah (Al-Imam Ahmad) mengatakan: “Tidak ada hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih padat, lebih kaya, dan lebih
banyak faedahnya daripada hadits ini (yakni hadits tentang niat).”
Ibnu Mahdi mengatakan: “Hadits ini masuk pada 30 bab dalam bidang ilmu.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan: “Sepantasnya hadits ini diletakkan dalam setiap bab ilmu.” (Fathul Bari, 1/13)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا وَصَّى بِهِ نُوْحًا
“Allah telah mensyariatkan bagi kalian agama yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh.” (Asy-Syura: 13)
Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
mewasiatkan kepada mereka agar ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”
(Fathul Bari, 1/13)
Ibnu Rajab menjelaskan: “Setiap amalan yang tidak diniatkan untuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala maka amalan tersebut adalah batil, tidak
memiliki buah di dunia dan di akhirat.” (Jami’ Al-’Ulum Wal Hikam hal.
11)
Kedua, Mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap pelaksanaan ibadah haji
Mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pelaksanaan
ibadah haji merupakan syarat kedua diterimanya amalan haji seseorang
setelah syarat ikhlas. Mulai awal pelaksanaan haji sampai akhirnya,
tidak diperbolehkan mengada-adakan sesuatu sedikitpun. Bila ada amalan
yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, niscaya tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal
ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ
فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ -وَفِي رِوَايَةٍ
لِمُسْلِمٍ- مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan kami yang tidak ada ajarannya dari kami maka amalan tersebut tertolak.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan: “Barangsiapa yang melakukan amalan
yang tidak ada tuntunannya dari kami maka amalan tersebut tertolak.”6
Sekecil dan seringan apapun, amalan ibadah haji tersebut harus sesuai
dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hal ini,
segenap kaum muslimin tidak boleh berpedoman dengan pengajaran dan
bimbingan orang tua dahulu, atau guru-guru kita, namun harus berpedoman
dengan dalil-dalil.
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan: “Semua amalan yang dilakukan
harus di bawah ketentuan hukum-hukum syariat. Hukum syariat menjadi
hakim terhadap semua amalan, baik dalam hal perintah maupun larangan.
Sehingga barangsiapa yang amalannya berjalan di bawah ketentuan syariat
dan sesuai dengannya maka diterima. Dan bila keluar dari hukum syariat
maka amalan tersebut tertolak.” (Jami’ Al-’Ulum Wal Hikam hal. 83)
Haji Mabrur Diraih dengan Kedua Syarat di Atas
Dengan kedua syarat di atas, seseorang akan bisa meraih keutamaan haji
mabrur yaitu haji yang diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala,
menurut salah satu pendapat ulama. Tanda diterimanya ibadah haji adalah
dia pulang dalam keadaan lebih baik dari sebelumnya dan tidak kembali
kepada perbuatan maksiat. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah haji yang tidak dijangkiti penyakit riya`. Dan ada pula yang
berpendapat maksudnya yaitu haji yang tidak diiringi kemaksiatan
setelahnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat ini. Dan yang paling
masyhur adalah pendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak
dicampuri dengan kemaksiatan. (Syarh Muslim, 5/119)
Para hujjaj sangat mengidamkan keutamaan ini. Namun di antara mereka
ada yang tidak memerhatikan kiat yang akan mengantarkan dirinya untuk
mendapatkannya. Bila seseorang tidak membangun ibadah hajinya di atas
kedua landasan di atas, maka dia tidak akan mendapatkannya. Hal itu
merupakan sesuatu yang pasti berdasarkan dalil-dalil di atas. Tentang
haji mabrur, telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam banyak sabdanya. Di antaranya:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟
فَقَالَ: إِيْمَانٌ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ. قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ:
الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ
مَبْرُوْرٌ
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang
amalan yang paling utama lalu beliau menjawab: “Iman kepada Allah dan
Rasul-Nya.” Ditanyakan kepada beliau: “Kemudian apa?” Beliau berkata:
“Berjihad di jalan Allah.” Ditanyakan lagi kepada beliau: “Kemudian
apa?” Beliau berkata: “Haji yang mabrur.”7
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
يَا رَسُوْلَ
اللهِ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ؟ قَالَ:
لاَ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُوْرٌ
“Ya Rasulullah, kami berpendapat bahwa jihad adalah amalan yang
paling utama. Tidakkah kami ikut berjihad?” Beliau berkata: “Tidak. Akan
tetapi jihad yang paling utama (bagi wanita) adalah haji mabrur.”
Dalam riwayat Al-Imam An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz:
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَلاَ نَخْرُجُ فَنُجَاهِدَ مَعَكَ فَإِنِّي
لاَ أَرَى عَمَلاً فِي الْقُرْآنِ أَفْضَلَ مِنَ الْجِهَادِ. قَالَ: لاَ،
وَلَكِنَّ أَحْسَنَ الْجِهَادِ وَأَجْمَلَهُ حَجُّ الْبَيْتِ حَجٌّ
مَبْرُوْرٌ
Aku berkata: “Ya Rasulullah, tidakkah kami keluar ikut berjihad
bersamamu karena aku tidak melihat di dalam Al-Qur`an ada amalan yang
paling utama daripada jihad?” Beliau bersabda: “Tidak. Akan tetapi
sebaik-baik jihad dan yang paling indah adalah haji ke Baitullah, yaitu
haji yang mabrur.” (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih An-Nasa`i no.
2628)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Umrah yang satu ke umrah berikutnya merupakan penghapus dosa di
antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasannya melainkan
surga.”8
Demikianlah beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan haji yang mabrur
dan tidak ada balasan bagi haji yang mabrur melainkan surga. Al-Imam
An-Nawawi menjelaskan: “Pelaku haji tersebut tidak hanya terhapus
dosa-dosanya, bahkan dia mesti masuk ke dalam surga.” (Syarh Muslim,
5/119)
Demikianlah kedudukan dua syarat diterimanya setiap amalan hamba,
yaitu ikhlas dan mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga yang dituntut dari seorang hamba dalam ibadahnya adalah
bagaimana dia memperbaiki ibadahnya, bukan hanya bagaimana
memperbanyaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
“Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa yang paling baik amalannya.” (Al-Mulk: 2)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Makna ayat ini adalah Dialah yang telah
menjadikan makhluk dari tidak ada menjadi ada, untuk menguji mereka
siapa yang paling baik amalnya.” Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalannya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 4/414)
Ketiga, Iman yang benar kepada Allah
Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu rukun
iman yang enam dan merupakan intisari keimanan terhadap rukun iman yang
lain. Bila keimanan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
benar, maka akan menjadi barometer kepincangan imannya terhadap rukun
iman yang lain.
Keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mencakup banyak perkara, di antaranya:
1. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang berhak
untuk disembah, dan segala bentuk penyembahan serta pengagungan terhadap
selain-Nya adalah batil.
ذلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ
“Demikianlah bahwa Allah adalah Al-Haq (untuk disembah) dan apa yang
mereka sembah selainnya adalah batil dan Allah Maha Kaya dan Maha
Besar.” (Al-Hajj: 62)
Pengagungan terhadap selain Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak
bentuknya. Di antaranya mengagungkan kuburan-kuburan tertentu,
orang-orang tertentu, tempat-tempat yang dikeramatkan, pohon-pohon,
batu-batu, jimat-jimat, jin-jin, dan sebagainya. Semuanya akan merusak
keimanan seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan mengarah
kepada tercabutnya keimanan dari diri mereka.
2. Mengimani segala apa yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada hamba-hamba-Nya berupa pelaksanaan rukun Islam yang lima secara
lahiriah dan kewajiban lainnya yang telah dibebankan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada setiap hamba. Di antara lima rukun Islam, yang paling
besar dan paling utama adalah persaksian terhadap dua kalimat syahadat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah.” (Muhammad: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:
شَهِدَ اللهُ
أَنَّهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ
قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan Allah telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
melainkan Dia dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu ikut
mempersaksikan dengan penuh keadilan bahwa tidak ada sesembahan yang
benar melainkan Allah dan Dia Maha Mulia dan Maha Bijaksana.” (Ali
‘Imran: 18)
3. Mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan dan
mengatur segala urusan alam ini dan memantau mereka dengan ilmu serta
kebijaksanaan. Dia yang memiliki dunia dan akhirat. Tidak ada pencipta
selain-Nya dan tidak ada yang sanggup mengatur urusan makhluk ini
kecuali Dia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para nabi dan
menurunkan kitab-kitab untuk kemaslahatan hamba dan untuk menyeru mereka
kepada jalan menuju keberhasilan dan keselamatan hidup di dunia dan
akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ
اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لاَ تَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلاَ لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Dan termasuk tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya malam dan
siang, matahari dan bulan. (Oleh karena itu) janganlah kalian sujud
kepada matahari dan bulan, namun sujudlah kalian kepada Allah yang telah
menciptakannya jika kalian hanya beribadah kepada-Nya.” (Fushshilat:
37)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ
اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ
حَثِيْثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ
“Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit-langit dan bumi dalam
enam hari kemudian Dia beristiwa` di atas ‘Arsy. Allah menutup siang
dengan malam yang terjadi dengan cepat (dan Dialah yang telah
menciptakan) matahari, bulan, dan bintang-bintang yang semuanya tunduk
di bawah perintah-Nya, ketahuilah hak Allah untuk mencipta dan
memerintah, dan Maha suci Allah Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)
4. Mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
baik dan tinggi, yang dijelaskan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, tanpa
memalingkan dan menyelewengkan maknanya sedikitpun dari apa yang
dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta tanpa
menyerupakan-Nya dengan sifat-sifat makhluk.
وَلِلّهِ
اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِيْنَ
يُلْحِدُوْنَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik maka berdoalah kalian
dengannya dan biarkanlah orang-orang yang menyeleweng dari nama-nama
Allah dan mereka pasti akan dibalas atas apa yang telah mereka perbuat.”
(Al-A’raf: 180)
وَلَهُ الْمَثَلُ اْلأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Dan bagi Allah perumpamaan yang tinggi di langit-langit dan di bumi, dan Dia Maha Mulia dan Maha Bijaksana.” (Ar-Rum: 27)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Dan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Larangan berbicara tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ilmu telah diperingatkan oleh-Nya di dalam firman-Nya:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu
padanya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan
dimintai pertanggungjawaban.” (Al-Isra`: 36)
قُلْ إِنَّمَا
حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ
وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ
يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُوْلُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ
تَعْلَمُوْنَ
“Katakan: ‘Sesungguhnya Rabbku telah mengharamkan kekejian yang
nampak maupun yang tidak nampak, mengharamkan dosa, perbuatan dzalim
tanpa alasan yang benar dan mengharamkan kalian menyekutu-kan Allah
dengan sesuatu yang tidak pernah Allah turunkan keterangan tentangnya,
dan mengharamkan berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu.” (Al-A’raf: 33)
Demikianlah beberapa kiat untuk memperbaiki keimanan kita kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, agar semua amal yang kita kerjakan dibangun di
atas keimanan kepada-Nya. Bila ibadah haji seseorang dibangun di atas
keimanan kepada-Nya tentu semua niatan akan diarahkan kepada-Nya. Dia
tentunya tidak akan keluar dari tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya dalam pelaksanaan haji tersebut, sehingga bisa mendapatkan
haji mabrur di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Demikianlah buah keimanan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a‘lam.
1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 6744 dan Al-Imam Muslim no. 2380
2 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 38
3 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 7 dan Al-Imam Muslim no. 19, 20, 21, 22.
4 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 9
5 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 1 dan Al-Imam Muslim no. 3530
6 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 2499 dan Al-Muslim no. 3242
7 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 25
8 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Buhari no. 1650 dan Al-Imam Muslim no. 2403
Sumber : Asysyariah.Com